Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MATERI FIQIH KELAS 12 : SUMBER HUKUM ISLAM MUTTAFAQ DAN MUKHTALAF

Materi-Fiqih-Kelas-12-Sumber-Hukum-Muttafaq-Dan-Mukhtalaf
Materi Fiqih Kelas 12 : Sumber Hukum Islam Muttafaq Dan Mukhtalaf - Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Sumber hukum Islam disebut juga dengan istilah dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam. Berikut adalah penjelasan tentang Sumber Hukum Islam Muttafaq Dan Mukhtalaf secara lengkap

A. Uraian Materi Sumber Hukum Islam Muttafaq Dan Mukhtalaf

1. Sumber Hukum Islam (Muttafaq)

Sumber hukum yang Muttafaq adalah sumber hukum Islam yang telah disepakati oleh seluruh umat Islam. Berikut adalah sumber-sumber hukum Islam yang Muttafaq:

a. Al-Qur’an

Menurut bahasa, kata al-Qur’an adalah bentuk isim masdar dari kata “qa-ra-a” yang berarti membaca yaitu kata “qur-a-nan” yang berarti yang dibaca. al-Qur’an merupakan nama kitab suci Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan perantara malaikat jibril. Dalam segi termenologi, al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa arab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw dengan perantaraan Malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf. Sebagaimana firman Allah swt.:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا (١٠٥)

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (QS. An Nisa’ : 105)

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk disampaikan kepada umat manusia, sudah barang tentu memiliki sekian banyak fungsi, baik bagi Nabi Muhammad itu sendiri maupun bagi kehidupan manusia secara keseluruhan. Di antara fungsi al-Qur’an adalah sebagai bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya, petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia.

Kedudukan al-Qur’an merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan paling utama dalam hukum-Islam, sebelum sumber-sumber hukum yang lain. Sebab al-Qur’an merupakan Undang-Undang Dasar tertinggi bagi umat Islam, sehingga semua hukum dan sumber hukum tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an. Adapun sifat al-Qur’an dalam menetapkan hukum yaitu sebagai berikut :

1) Tidak memberatkan atau menyusahkan.

Misalnya, mengqasar shalat, tidak berpuasa karena musafir, bertayamum sebagai ganti air wudhu.

2) Tidak memperbanyak beban/tuntutan

Misalnya, zakat karena hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja.

3) Berangsur-angsur di dalam mensyari’atkan sesuatu

Misalnya, pengharaman minuman keras prosesnya sampai tiga kali, kemudian diputuskan tidak boleh.


b. Al-Hadis

Hadis/sunnah secara etemologi berati cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji, sunah lebih umum atau disebut dengan hadis yang mempunyai beberapa arti secara etemologis, yaitu, Qarib, artinya dekat, jadid artinya baru, dan khabar artinya berita atau warta. Dari beberapa arti tersebut, yang sesuai dengan pembahasan ini adalah hadis dalam arti khabar.

Hadis merupakan segala hal yang disandarkan kepada Nabi SAW. yang dijadikan dasar untuk menentukan hukum dalam ajaran Islam. Hal ini dikarenakan Nabi SAW adalah sosok yang mulia dan menjadi suri tauladan bagi umat manusia. Para ulama ahli ushul fiqih, menjadikan hadis untuk menentukan hukum Islam setelah tidak ditemukan keterangan dalam Alquran. Oleh karena itu, para ulama sepakat menempatkan hadis sebagai sumber pokok ajaran setelah Al Qur’an. Adapun fungsi hadis terhadap al-Qur’an adalah sebagai berikut: 

1) Bayan Taqrir

Hadis/sunnah berfungsi untuk menguatkan atau menggaris bawahi maksud redaksi wahyu (Al Qur’an). Bayan Taqrir disebut juga Bayan Ta’kid atau Bayan Isbat.

2) Bayan Tafsir

Hadis/sunnah berfungsi menjelaskan atau memberikan keterangan atau menafsirkan redaksi Al Qur’an, merinci keterangan Al Qur’an yang bersifat global (umum) dan bahkan membatasi pengertian lahir dari teks Al Qur’an atau mengkhususkan (takhsis) terhadap redaksi ayat yang masih bersifat umum.

3) Bayan Tasyri’

Hadis/sunnah berfungsi untuk menetapkan hukum yang tidak dijelaskan oleh Al Qur’an. Hal ini dilakukan atas inisiatif Nabi SAW Atas berkembangnya permasalahan sejalan dengan luasnya daerah penyebaran Islam dan beragamnya pemikiran para pemeluk Islam.

Inisiatif Nabi SAW yang didasarkan pada Alquran, membuat umat Islam mentaati segala perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapannya. Nabi SAW senantiasa berusaha menjelaskan dan menjawab pertanyaan beberapa sahabat tentang berbagai hal yang tidak diketahuinya berdasarkan petunjuk Allah SWT. Meskipun pada mulanya dari inisiatif beliau.

c Ijma’

Pengertian Ijma’ secara etimologi ada dua macam, yaitu Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus dan ijma’ berarti tekad atau niat Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para ulama ushul fiqih. Ibrahim Ibn Siyar Al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazila, merumuskan ijma’ dengan setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang. “Akan tetapi rumusan Al-Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi di atas.

Imam Al-Gazali merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Gazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan oleh umat Muhammad Saw., yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Al-Gazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rasulullah Saw. Alasannya, karena pada masa Rasulullah, ijma’ tidak diperlukan, sebab keberadaan Rasulullah Saw. sebagai syari’ (penentu atau pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’. Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut :

1) Yang terlibat yang terlibat dalam hukum pembahasan syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’

2) Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia islam.

3) Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemikakan pandangannya.

4) Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat actual dan tidaka ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.

5) Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-Qur’an dan atau hadis Rasulullah SAW


Seorang dapat disebut sebagai seorang Mujtahid apabila sekurang-kurangnya memenuhi tiga syarat sebagai berikut:

1) Memiliki pengetahuan dasar berkaitan dengan,

2) Al Qur’an.

3) Sunnah.

4) Masalah Ijma’ sebelumnya.

5) Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

6) Menguasai ilmu bahasa Arab.


Al Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al Syariah (tujuan syariat). Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al Syariah.

Dilihat dari segi terjadinyaa ijma’ dapat dibagi menjadi dua bagian:

1) Ijma’ sharih/qauli/bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan, seperti hokum masalah ini halal dan tidak haram.

2) Ijma’ sukuti, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan yang mendapat tantangan (hambatan) diantara mereka atau salah seorang diantara mereka tenang (diam) dalam mengambil suatu keputusan. Tentang ijma’ sukuti, ulama berbeda pendapat bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau tidak: 

a) Imam syafi’i dan sebagian ulama-ulama Hanafi, seperti Ibnu Iyan dan Imam Al-Baqillani dari golongan Asy’ariyah menyatakan, bahwa ijma’ sukuti tidak dapat menjadi hujjah sebab kemungkinan ada ulama yang tidak setuju atau ada pula yang setuju.

b) Ulama lain seperti Al-Juba’i, ijma’ sukuti tetap menganggapnya hujjah, sebagaimana halnya ijma’qauli/amali.

c) Imam Al-Amidi mengambil jalan tengah ia mengatakan ijma’ sukuti hukumnya zhanni dan kehujjaannya dzahiri bukan qath’I


Dilihat dari segi terjadinyaa ijma’ dapat dibagi menjadi dua bagian:

1) Ijma’ qath’i, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa ada banthan diatara mereka, ijma’ qath’i ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.

2) Ijma’ zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dzanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.

d. Qiyas

Menurut bahasa, Qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dengan demikian, qiyas diartikan mengukur seuatu atas yang lain, agar diketahui persamaan antara keduanya. Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli ushul fiqih dengan redaksi yang berbeda sesuai dengan pandangan masing-masing, namun mengandung pengertian yang sama. Rukun Qiyas, yaitu sebagai berikut:[9]

1) Asal, menurut para ahli ushul fiqih, merupakan objek yang telah ditetapkan hukumny oleh ayat-ayat al-Qur’an, hadis Rasulullah SAW. atau ijma’. Misalnya pengharaman wisky dengan mengqiyaskannya kepada khamar, maka yang ashl itu adalah khamar, yang telah ditetapkan hukumnya dalam nash.

2) Far’u (cabang), adalah yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya

3) illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya

4) al-ashl, adalah hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Atau hukum syar’i yang ada dalam nash atau ijma’, yang terdapat dalam al ashlu.

Adaun macam- macam Qiyas itu dibagi menjadi 5 (lima) yaitu: 

1) Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya (mulhak bih).

2) Qiyas Musawi yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, merusak benda anak yatim

3) Qiyas adna adalah qiyas yang illat pada furu’ lebih rendah daripada illat yang terdapat pada ashal. Misalnya mengqiyaskan haramnya perak bagi laki-laki dengan haramnya laki-laki memakai emas. Yang menjadi illatnya adalah untuk berbangga-bangga. Bila menggunakan perak merasa bangga apalagi menggunakan emas akan lebih bangga lagi.

Dilihat dari segi kejelasan yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi menjadi 2 macam yaitu : [11]

a) Qiyas Jalli adalah qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashal. Nash tidak menetapkan illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furu’. Misalnya mengqiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki dan mengqiyaskan setiap minuman yang memabukkan dengan larangan meminum khamr yang sudah ada nashnya.

b) Qiyas Khafi adalah qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan menggunakan alat berat dengan pembunuhan menggunakan benda tajam.

Dilihat dari segi persamaan furu’ dengan ashal, qiyas dibagi menjadi 2 macam yaitu : qiyas syabah dan qiyas ma’na. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut :[12]

a) Qiyas syabah adalah qiyas furu’nya dapat diqiyaskan dengan duaashal atau lebih. Tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan furu’. Misalnya zakat profesi yang dapat diqiyaskan dengan zakat perdagangan dan pertanian.

b) Qiyas Ma’na adalah qiyas yang furu’nya hanya disandarkan pada ashal yang satu. Jadi korelasi antara keduanya sudah sangat jelas. Misalnya mengqiyaskan memukul orang tua dengan perkataan “ah” seperti yang ada dalam nash pada penjelasan sebelumnya. Jadi secara keseluruhan macam-macam qiyas terebut ada tujuh yaitu : qiyas aulawi, qiyas musawi, qiyas adna, qiyas jalli, qiyas khafi, qiyas syabah, dan qiyas ma’na


1 Sumber Hukum Islam (Mukhtalaf)

a. Istiḥsān

Menurut bahasa, istiḥsān berarti menganggap baik sesuatu dan meyakininya. Menurut istilah ulama uṣūl fiqih, istiḥsān adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan hukum yang di kehendaki qiyās jalli (jelas) kepada ketentuan hukum yang di kehendaki oleh qiyās khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istisna’ (pengecualian), karena ada dalil yang menuntut demikian. Qiyās khafi menurut kalangan Hanafiyah adalah istiḥsān. Disebut istiḥsān karena seorang mujtahid menganggap bahwa perpindahan penerapan metode dalil dari qiyās jalli ke qiyās khafi adalah lebih baik. Dari segi pengambilan dalil Istiḥsān terbagi dalam beberapa bentuk:[13]

1) Istiḥsān dengan qiyās khafi

Penerapan Istiḥsān dengan qiyās khafi ialah pencetusan hukum melalui perenungan serta penelitian mendalam karena dalam satu kasus terdapat dua dalil yaitu qiyās jalli dan qiyās khafi yang masing-masing mempunyai konsekwensi hukum sendiri-sendiri. Kemudian dalam penetapan hukum dilakukan penunggulan pada dalil yang dianggap lebih sesuai dengan permasalahan. Contohnya: air sisa minuman burung buas seperti burung elang, rajawali, dan lain sebagainya. Dalam menentukan status kesucian air tersebut terdapat pertentangan antara qiyās dan istiḥsān
2) Istiḥsān dengan nas

Maksudnya adalah meninggalkan ketentuan nash yang umum beralih ke hukum nash yang khusus. Contoh dari istiḥsān dengan al qur’an : di perbolehkanya wasiat. Secara qiyas (kaidah umum) pelaksanaan wasiat tidak di perbolehkan karena menyalahi kaidah umum yaitu dalam wasiat terdapat pengalihan hak milik setelah status kepemilkannya hilang, yaitu dengan meningggalnya pemilik hak. Namun kaidah ini mengalami pengecualian dengan adanya dalil atau nas dari al qur’an


مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ……(١١)

Artinya : “Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah di penuhi wasiat yang ia buat dan sesudah di bayar hutangnya” ( QS An Nisa’ : 11)

Contoh dari istiḥsān dengan sunnah : di perbolehkanya akad salam (pemesanan). Kaidah umum mengeasksan pelaraganya, karena ia adalah sebagian dari bentuk transaksi penjualan barang yang belum wujud. Namun akad salam dikecualikan dari penerapan kaidah tersebut berdasrkan hadis yang secara khusu memperbolehkanya yaitu,

مَنْ أَسْلَفَ فِي ثَمَرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ (متفق عليه)

Artinya : ”Barang siapa melakukan akad pemesanan buah, maka pesanlah dengan kadar takaran yang jelas, dan batas waktu yang jelas juga.” (HR Bukhari Muslim).

3) Istiḥsān dengan ijma’

Maksudnya adalah fatwa ulama’ tentang suatu hukum dalam permaslahan kontemporer yang menyalahi hasil penerapan qiyas atau kaidah umum. Contoh akad istisna’ (kontrak kerja pertukangan) yaitu satu pihak meakukan kontrak kerja dengan pihak lain untuk membuat suatu barang dengan imbalan tertentu. Dengan metode qiyās kontrak kerja semacam ini tidak sah karena ketika kesepakatan kontrak terjadi ma’qud alaih tidak ada. Namun akad semacam ini di perbolehkan karena masyarakat terbiasa melakukannya dan tidak ada seorangpun ulama’ yang mengingkarinya. Karena nya hal seperti ini dianggap sebagai ijma’.

4) Istiḥsān dengan darurat

Yaitu apabila dengan menggunakan qiyās atau kaidah umum dipastikan akan berdampak pada kesulitan atau kesempitan. Kemudian untuk menghilangkan kesulitan tersebut diberlakukanlah pengecualian dengan alasan darurat. Contoh penyucian sumur atau telaga yang terkena najis. Dengan metode qiyās telaga atau sumur tidak dapat disucikan dengan menguras sebagaian atau keseluruhan air. Karena persentuhannya dengan dinding sumur yang terkena najis. Menurut ulama’ Hanafi cara mensucikanya adalah dengan menguras samapai pada kadar tertentu disesuaikan dengan jenis najis dan besar kecilnya sumur atau telaga.

5) Istiḥsān dengan dengan maslaha

Yaitu apabila qiyās atau kaidah umum diterapkan akan mengakibatkan mafsadah (kerugian) atau tidak tercapainya maslaha yang dituju. Kemudian istihsan di berlakuakan untuk dapat mewujudkan kemaslahatan. Contoh: fatwa Abu Hanifah yang memperbolehkan pemberian zakat pada Bani Hasyim keturunan Rasulullah karena pertimbangan situsi masa itu. Ini bertentangan dengan kaidah umum yang menyatakan bahwa keluarga dan keturunan nabi tidak berhak mendapatkan zakat. Namun dengan istihsan diperbolehkan karena ada beberapa pertimbangan pada saat itu di mana keluarga rasul kerap mengalami penganiayaan dari rezim penguasa.

6) Istiḥsān dengan urf

Maksudnya adalah berpindah dari penerapan qiyās atau kadiah umum dengan memandang tradisi yang berlaku. Contoh diperbolehkannya jasa toilet umum tanpa ada kepastian berapa lama dan berapa banyak air yang digunakan dengan imbalan jasa pembayaran tarif yang telah di tentukan. Menurut kaidah umum tidak diperbolehkan karena ma’qud alaihnya tidak jelas begitu pula batas waktunya. Tetapi secara istihsan diperbolehkan karena sudah secara adat sudah dilakukan dan tidak ada seorang ulama’pun yang mengingkari.


Para ulama’ berbeda pendapat mengenai dijadikannya istiḥsān sebagai sumber hukum. Menurut Ulama Hanafi, Maliki dan Hanbali istiḥsān bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka istiḥsān adalah meninggalkan perkara yang sulit beralih ke perkara yang mudah di mana hal itu merupakan dasar dari agama sebagaimana firman Allah:


يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …..(١٨٥)

Artinya : ”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. ( QS Al Baqarah :185).

Dan hadis nabi Saw.:

مَا رَاهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ الله حَسَن (رواه أحمد)

Artinya : “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka ia adalah baik di sisi Allah” ( HR Ahmad).

Menurut ulama Syafi’i, Zahiriyah, Mu’tazilah dan Syiah berpendapat bahwa istiḥsān tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum, mereka beralasan: 

1) Bahwa Rasulullah saw tidak pernah meminta para sahabat melakukan istiḥsān.

2) Sandaran yang digunakan dalam melakukan istiḥsān adalah akal sehingga tidak ada bedanya antara orang alim dan oang jahil (bodoh), keduanya sama-sama bisa melakukan istiḥsān. Jika semua orang diperbolehkan melakukan istiḥsān maka masing-masing orang akan membuat syariat baru

Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istiḥsān menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istiḥsān menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istiḥsān itu semacam qiyās, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istiḥsān itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Maka seandainya istiḥsān itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi.


b. Maslahah Mursalah

Maslahah Mursalah menurut lugat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditasrifkan sehingga menjadi isism maf’ul, yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat). Menurut imam Al-Ghazali maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat.[15]

Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul, diantaranya :[16]

1) Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama syafi’iyyah, hanafiyah.

2) Menurut ulama’ Maliki dan Hanbali maslahah mursalah dapat digunakan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Mereka beralasan bahwa kemaslahatan manusia itu setiap waktu berkembang dan beraneka ragam sehingga butuh adanya kepastian hukum. Jika maslahah tidak bisa dijadikan sebagai hujjah maka akan banyak peristiwa yang tidak diketahui hukumnya

Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah tidak begitu saja menggunakanya tetapi menetapkan persyaratan yang cukup ketat diantaranya Maslahah itu harus bersifat riil dan umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. dan juga harus dapat diterima akal sehat dengan dugaan kuat bahwa maslahah itu benar-benar mendatangkan manfaat secara utuh dan menyeluruh. Maslahah ini juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dan tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada, seperti nas dan ijmak.

c. Istishab

Istishab ialah istilah, menetapkan hukum yang telah ada pada masa lalu hingga ada dalil atau bukti yang merubahnya. Contoh: seseorang yang memiliki wudhu lalu muncul keraguan apakah wudhunya sudah batal ataukah belum, dalam kondisi seperti ini ia harus berpegang pada belum batal karena hukum yang telah ada atau hukum asal ia masih punya wudhu sebelum ada bukti jelas kalau wudhunya telah batal.[17]

Menurut ulama’ Mazhab Syafii bahwa istisḥāb bisa dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan menurut ulama’ Hanafi istisḥāb tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Adapun kaidah yang berkaitan dengan istishab yaitu:[18]

1) (الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة), hukum asal bahwa seseorang tidak mempunyai tanggungan terhadap orang lain. Contohya, jika ia masih kecil, maka ia bebas sebelum sampai baligh.

2) (الأَصْلُ فِى الأَشْيَاء الإِبَاحَة), hukum asal segala sesuatu adalah mubah. Contohnya, Setiap makanan dan minuman yang tidak ditetapkan oleh suatu dalil tentang keharamannya, maka hukumnya mubah.

3) (اليَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِالشَّكِّ), keyakinan tidak hilang dengan munculnya keragu-raguan. Contohnya, Seorang yang ragu, apakah wudhunya sudah batal atau belum, maka berdasar istishab wudhunya belum batal, karena yang diyakini dia sudah berwudhu.

4) (الأَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ), hukum asal segala sesuatu adalah kembali pada hukum awalnya. Contohnya, sesorang masih tetap bertanggung jawab terhadap utang, sebelum ada petunjuk bahwa sudah dilunasi.

d. ‘Urf

‘Urf ialah apa yang sudah terkenal di kalangan umat manusia dan selalu diikuti, baik perkataan maupun perbuatan. Para ulama sepakat bahwa ‘urf merupakan salah satu dalil untuk menetapkan hukum. Mereka beralasan dengan firman Allah:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (١٩٩)

Artinya :“Jadilah engkau seorang pemaaf dan suruhlah orang menerjakan yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” ( QS Al A’raf : 199).

Kata al ‘urf dalam ayat di atas secara harfiah yaitu sesuatu yang dianggap baik dannpantas. Dari makna harfiah di atas maka para ulama’ menjadikanya sebagai sumber hukum. Adapun ‘urf jika dilihat dari segi sumbernya, dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :

1) ‘Urf perbuatan, seperti jual-beli dengan saling memberikan uang dan barang, tanpa menggunakan akad.

2) ‘Urf qauli, seperti kebiasaan menggunakan kata “daging” pada selain daging ikan.


Dilihat dari ruang lingkup penggunaannya, ‘urf juga dibagi menjadi dua macam, yaitu :

1) ‘Urf Am (Umum),seperti menganggukkan kepala pertanda setuju

2) ‘Urf khas (Khusus), seperti penggunaan kata- kata “kendaraan” untuk himar di suatu negeri dan kuda di negeri lainnya.


Ditinjau dari baik dan buruknya menurut syariat, ‘urf terbagi menjadi dua macam yaitu :

1) ‘Urf Saḥīh, adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan norma agama, seperti memberikan hadiah kepada orang tua.

2) ‘Urf Fāsid, kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti melakuakan transaksi yang berbau riba.


e. Saddzu Dzari’ah

Saddz berarti menutup, mengunci, mencegah. Zarī’ah menurut bahasa adalah perantara, sarana, atau ajakan menuju sesuatu secara umum. Tetapi lazimnya kata zarī’ah digunakan untuk “jalan yang menuju kepada hal yang membahayakan”. Menurut istilah syara’, adalah “Sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun hal itu akan menuju kepada hal-hal yang dilarang”. Contoh, melakukan permainan yang berbau judi tanpa taruhan dilarang karena dikawatirkan akan terjerumus kedalam perjudian.

Perbuatan mubah yang apabila dilakukan bisa menjerumuskan kepada kemaksiatan, terbagi menjadi dua. Pertama, kecil kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan seperti melihat wanita yang dikhitbah. Dalam hal ini para ulama’ sepakat akan kebolehannya. Kedua, besar kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Seperti menjual senjata pada saat ada perkelahian. Ketiga, menjerumuskan ke dalam kemaksiatan jika diselewengkan, seperti orang yang menikah dengan wanita yang sudah dicerai tiga, agar bisa dinikahi kembali oleh mantan suaminya.

Poin kedua dan ketiga para ulama’ berbeda pendapat. Menurut ulama’ Hanbali dan Maliki perbuatan di poin kedua dan ketiga tidak boleh di lakukan, dengan alasan bahwa sesuatu yang mubah harus dilarang jika membuka jalan ke arah kemaksiatan. Menurut ulama’ Syafii dan Dzahiri perbuatan di poin kedua dan ketiga boleh di lakukan, mereka beralasan bahwa perbuatan yang pada asalnya mubah harus di perlakukan mubah tidak bisa menjadi haram hanya karena ada kemungkinan menjerumuskan kedalam kemaksiatan.

f. Qaul Al- Shahabi

Qaul Al- Shahabi yaitu pendapat para sahabat tentang hukum suatu kasus sepeninggal Rasululah saw. Contohnya, kesepakatan para sahabat tentang bagian warisan untuk nenek seperenam. Pendapat Usman bin Affan tentang gugurnya kewajiban shalat jum’at apabila bertepatan dengan hari raya, pendapat Ibnu Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian anak kecil.

Para ulama’ sepakat bahwa pendapat sahabat yang disepakati para sahabat yang lain bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum karena dianggap sebagai ijmw’. Sedangkan pendapat sahabat yang berdasarkan kepada ijtihadd mereka sendiri para ulama’ berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama’, bahwa pendapat sahabat yang seperti itu bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka adalah bahwa pendapat seorang sahabat kemungkinan besar benar dan sangat kecil kemungkinan salah. Karena mereka yang menyaksikan secara langsung bagaimana syariat itu diturunkan dan mereka adalah orang-orang yang selalu bersama dengan Rasulullah sehingga pendapat mereka lebih dekat kepada kebenaran dari pada pendapat orang lain.

Menurut sebagian ulama’ yang lain bahwa pendapat sahabat yang seperti itu tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka adalah bahwa kita harus berpegang kepada al qur’an, hadis dan dalil lain yang mengarah kepada teks al qur’an dan hadis. Sementara pendapat sahabat tidak termasuk bagian itu. Ijtihadd dengan akal bisa kemungkinan benar bisa kemungkinan salah, baik itu pendapat sahabat maupun pendapat lainya. Meskipun bagi sahabat, kemungkinan salah sangatlah kecil.

g. Syar’u Man Qablana

Syar’u man qablana atau syariat umat sebelum kita adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad yang diturunkan melalui para nabinya seperti seperti ajaran nabi Musa, Ibrahim, Isa dan nabi-nabi yang lain. Adapun Syar’u man qablanā terbagi menjadi 

1) Ajaran umat sebelum kita yang diabadikan di dalam al qur’an atau hadis dan ada dalil yang menyatakan bahwa syariat itu berlaku untuk kita. Dalam hal ini para ulama’ sepakat bahwa syariat mereka berlaku untuk kita, seperti diwajibkannya berpuasa

2) Ajaran umat sebelum kita yang diabadikan di dalam al qur’an melalui kisah atau dijelaskan Rasulullah, tetapi ada dalil yang menyatakan bahwa syariat tersebut dihapus oleh syariat kita atau Islam. Dalam hal ini para ulama’ sepakat bahwa syariat mereka tidak berlaku untuk kita, seperti sabda Rasulullah saw:

وَأُحِلَّتْ لِى الغَنَائِمُ ولَمْ تُحَلَّ لِأَحَد قَبْلِى

Artinya: “Dan ghanimah dihalalkan untuk kami, tidak dihalalkan bagi umat sebelum kami”.


Dari hadis di atas diketahui bahwa ghanimah tidak dihalalkan untuk umat sebelum rasulullah dan dihalalkan bagi umat Rasulullah saw.

3) Ajaran syariat umat sebelum kita yang tidak di tetapkan oleh syariat kita, para ulama’ sepakat hal itu bukan syariat bagi kita.

4) Syariat sebelum kita yang ada di dalam Al Qur’an dan Hadis tetapi tidak ada dalil yang menyatakan sebagai syariat kita. Dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Menurut sebagaian ulama’ seperti ulama’ Hanafi bahwa hal itu sebagai bagian dari syariat kita. Mereka beralasan bahwa para ulama’ mewajibkan qisas dengan berdalil pada surat al maidah ayat 45, yang jelas-jelas itu adalah syariat untuk bani Israil. Menurut ulama’ Syafii bahwa hal itu bukan syariat bagi kita sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, mereka beralasan bahwa syariat kita menghapus syariat sebelum kita.